Melodiam, 4 April 2021

Ada kisah antara hidup dan mati
Merajut kasih diatas awan hingga api membara
Tembang asing tersebut memenuhi sebuah toko tua bernama Melodiam, tempat yang baru saja dipijak Nolan dan Arland akibat hujan lebat diluar sana. Sambil menghapus bulir air yang menghinggapi jaket kulit mereka, empat netra hitam kecoklatan itu memindai bangunan tua dengan penuh minat. Dalam hati yang paling tua mencoba mengingat-ngingat tentang toko ini, rasanya ia familiar tapi entah kenapa tak ada satu ingatan pun yang menghampiri.
Jangan menangis adik kecil,
karena roda berputar
Lagi-lagi lagu asing tersebut terdengar, membuat Arland yang sedari tadi mencari sumber suara terfokus pada tirai putih yang terletak diujung bangunan. Kira-kira seperti apa wujud seseorang yang memiliki suara sehalus ini? Jika ia tidak salah tebak… sepertinya laki-laki tersebut beberapa tahun lebih tua dari mereka.
“He’s got a sweet voice,” ujar Arland memecah keheningan, membuat Nolan yang awalnya sibuk dengan dunianya menatap yang lebih muda.
“Wanna go there?” tanya Arland turut menatap Nolan.
Hari ini kita menjadi saksi
Cinta tak bisa dipisahkan waktu
Nolan tak bersuara, tetapi seolah tersihir suara sosok disampingnya ia mengangguk kecil, tanda bahwa ia menyetujui yang diusulkan Arland. Mereka berdua berjalan beriringan, melintasi rak-rak barang antik yang seolah tengah menceritakan kedua insan itu sebuah kisah. Buku, jam, mahkota, hingga sebuah jubah berwarna merah marun menemani perjalanan mereka hingga ke ujung ruangan. Namun, belum sampai ditempat tujuan, mata keduanya terpaku pada sebuah kotak cincin yang tampak usang. Sudah terkoyak di sisi kanan dan kirinya. Lalu tanpa banyak cakap Arland meraih kotak tersebut.
“A pair of wedding rings?” tanya Nolan begitu yang lebih muda membuka kotaknya.
Arland mengangguk, “I guess, kondisinya masih sangat bagus.”
Pangeran tampan tersenyumlah
Anjing kecilmu menunggu di ujung sana
Jemput dia, peluk dia
Jangan lepaskan barang sejenak
“It’s a bit strange,” gumam Nolan ketika sekelebat perasaan asing memenuhi hatinya. Ia seperti merasakan sebuah perasaan…
“Belonging?”
Setelah tertangkap basah mengambil kotak cincin oleh si pemilik toko, kini Nolan dan Arland berada dibalik tirai putih yang menjadi pusat perhatian Arland ketika masuk tadi. Mereka duduk diatas sofa kulit yang terletak di samping rak buku besar, menunggu pria misterius yang menawarkan mereka untuk minum dan bercerita mengenai asal-usul cincin tersebut.
“Maaf lama,” ujar pria itu begitu kembali dengan nampan berisi tiga cangkir coklat hangat. Ia meletakkan gelas itu keatas meja kecil lalu duduk berhadapan dengan Nolan dan Arland.
“Harusnya ga perlu repot-repot,” ujar Nolan tidak enak, pasalnya tujuan mereka kemari sebenarnya bukan untuk berbelanja, tetapi hanya untuk berteduh.
Sosok itu meraih cangkirnya, “Ga masalah, saya sendiri yang mau kok.”
Nolan memperhatikan gerak-gerik sang pemilik toko dengan seksama, “Sebenarnya saya punya satu pertanyaan, apakah anda bersedia menjawabnya tuan…?”
“Nino, apa yang ingin kamu tanyakan?”
“Lagu yang anda nyanyikan tadi… dari mana asalnya?”
“Ah, itu sebenarnya berhubungan dengan kisah dari cincin yang kalian pegang,” ujar Nino menunjuk kotak cincin yang dipegang oleh Arland.
“Those rings belongs to the era of Euran, the forgotten country yang berasal dari Silver Forest.”
“Silver Forest?” ulang Nolan. Ini adalah sesuatu yang baru. Seumur-umur ia tinggal di Silver Forest, ia tidak pernah mendengar Euran, memangnya pernah ada kerajaan yang berdiri di tempat ini? Batinnya bingung.
Nino tersenyum maklum, “Itu adalah sejarah yang sengaja dihapus oleh penduduk asli Silver Forest. Jauh sebelum tragedi mengenaskan yang terjadi di tahun 1715, tanah ini pernah di bumi hanguskan. Para penduduk yang selamat percaya bahwa hal itu terjadi karena kemurkaan dewa atas kematian sang pangeran, oleh sebab itu untuk mendapatkan pengampunan dari yang diatas mereka tidak pernah mengungkit kejadian tersebut dan merayakan kematian sang pangeran setiap 32 tahun sekali.”
“Kenapa saya tidak pernah mendengarnya?” ujar Nolan menyelidik. Sungguh, ia tidak pernah tahu ada acara seperti itu di Silver Forest. Padahal hampir setiap tahun ia mengelilingi kota hingga kepelosok desa.
“Acara itu hanya dihadiri oleh para keturunan yang selamat, dan memang diadakan secara rahasia agar tidak ada yang mengetahuinya.”
“Lalu, lagu yang anda nyanyikan tadi juga berasal dari era yang sama?” potong Arland mendahului Nolan.
“Iya, tepatnya menggunakan Bahasa Kuno Euran yang disebut sebagai Aurscie. Para penduduk asli mengatakan bahwa lagu itu dinyanyikan secara turun temurun dalam peringatan kematian sang pangeran karena dewa yang mereka agungkan mengumandangkan lagu tersebut ketika sang pangeran masuk ke dalam kobaran api.”
Arland mendengus, “It seems like everything is related to magic in Silver Forest,” ujarnya usai mendengar penjelasan Nino.
“You don’t believe in magic?”
“I don’t believe in anything I can’t see with my own eyes.”
“Sayang sekali…”
“Pardon?”
“Tidak ada.”
“Ah, sepertinya hujan sudah reda. Apa kalian ingin kembali sekarang?” tanya Nino mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. Kedua anak adam itu tahu, tapi mereka juga tak mungkin berdiam di toko itu lebih lama. Bisa-bisa para ajudan tuan Zhu mengacaukan kota hanya demi mencari Arland. Oleh sebab itu mereka bangkit dan pamit undur diri.
“Sý vide iterum, Prinskip de Mors et Vita,” bisik Nino menatap punggung kedua anak adam yang berlalu menggunakan motor masing-masing. Dengan lambat ia menutup pintu kayu tersebut lalu menyenandungkan bait terakhir dari lagu perayaan tersebut.
Mengapa kalian sedih?
Tertawalah, tertawalah
Cinta kalian abadi,
menang melawan yang fana